Kamis, 26 Juni 2008

BUKU KARYA DAN TERJEMAHAN OEY HAY DJOEN DAPAT DIPESAN DI 0811 86 11 85

Peringatan 40 Hari Wafatnya Oey Hay Djoen




Kamis, 26 Juni 2008, bertempat tinggal di kediaman Oey Hay Djoen, Cibubur diselenggarakan peringatan 40 hari wafatnya kawan Oey. Acara diselenggarakan menjelang setengah delapan malam itu dihadiri saudara, kerabat, anak, cucu dan istri tercinta Oey Hay Djoen, Jean. Walau sederhana, peringatan Oey Haya Djoen berjalan hikmat dan penuh keharuan.

Didahului dengan pemutaran Essay Video ”Kepada Si Bung” yang berdurasi 25 menit, diharapkan menjadikan utuh pemahaman kita tentang tokoh yang satu ini. Dengan suasana haru, diselimgi pembacaan puisi, acara dilanjutkan dengan acara kebaktian dan pemberkatan sebuah monumen kecil ”Goa Maria.”

Sayangnya, Goa Maria, yang menjadi amanat Oey tak sempat dinikmati oleh si bung. Sahabat dekatnya Tumiso dan anak cucu menempatkan Goa Maria, tepat di halaman belakang, tidak jauh dari ruang kerja dan perpusatakaan Oey Hay Djoen.

Menjelang pukul sepuluh malam, acara 40 hari Oey Hay Djoen berakhir. Kita semua mengenang kawan Oey sebagai pribadi secara lengkap. Semoga, tauladan baik, kita petik hikmahnya dari perjalanan si bung.

SELAMAT JALAN SAHABAT


(Mengenang Bung Oey Hay Djoen)
Oleh : EZ Halim


Kita hanya dua kali bersua berbagi cerita
Di rumahku
Dan di rumahmu
Lantas engkau pergi begitu tiba-tiba

Andai takdir dapat diubah
Perjalanan kita akan lebih bermakna

Lukisan Resobowo yang engkau titipkan
Adalah saksi persahabatan kita
Kanvas yang mengenang Rivai beserta sajaknya
Tugu, lilin dan tangan mengepal
Ini adalah simbol sikap hidupmu
Tegar berjuang berbagi cahaya
Jejak langkahmu bakal dikenang
Karya bakti,u bakal dibaca

Ladang yang engkau retas
Kini telah berbenih tunas
Harkat yang engaku rajut
Membuat kita paham hidup bermartabat

Jalan hidupmu adalah bait-bait puisi dalam prosa
Ada luka tapi indah
Ada di Buru tapi tidak membeku

Selamat jalan sahabatku
Engkau tidak perlu gelisah dan pilu
Ini awal ziarahmu yang panjang dan indah
Di sisni ada generasi muda yang mewarisi semangatmu yang membara

Sentul City, 26 Juni 2008

Senin, 23 Juni 2008

Oey Hay Djoen Telah Pergi


Oey Hay Djoen, seorang intelektual yang dikenal sebagai penerjemah buku-buku kiri telah meninggal dunia Minggu, 18 Mei 2008, pukul 00:00 WIB di Rumah Sakit St.Carolous, Jakarta. Sebelum meningal dunia, Oey Hay Djoen menderita serangan jantung.

Kontribusinya terhadap dunia pustaka (buku) cukup besar. Kita bisa mendapat referensi buku-buku karya pemikir dunia berbahasa Indonesia berkat terjemahan Oey. Secara khusus Oey menerjemahkan buku-buku yang ditulis oleh pemikir kritis seperti Karl Marx, Frederick Engels, G.V. Plekhanov, N.G. Chernyschevsky dan Rosa Luxemburg.

Lebih dari 30 buku karya pemikir-pemikir sosialis dunia sudah ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Oey Hay Djoen lahir di Malang, 18 April 1929. Dia bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dan sempat duduk di parlemen tahun 1950-an, mewakili partainya. Aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra juga menduduki posisi penting dalam jajaran pimpinan pusat. Saat terjadi tragedi pembantaian tahun 1965, dia dibuang ke Pulau Buru. Dia menyandang status tahanan politik nomor 001. Tahun 1979 dia bebas.

Partai Kebangkitan Bangsa pernah menganugerahkan Gusdur Award kepada Oey sebagai salah satu Tokoh Kebangsaan. Dia tak sendiri. Beberapa orang juga memperoleh penghargaan sama. Mereka antara lain, LB Moerdani (Mantan Menteri Pertahan dan Keamanan), Harry Tjan Silalahi (peneliti CSIS), Ken Sudarta (pencipta atribut PKB), Alfred Simanjuntak (pencipta lagu mars PKB) dan Jacob Oetama (pemimpin umum harian Kompas).

“Dia salah satu orang Indonesia yang punya kehendak luhur bagi kehidupan manusia,” ujar Samsir Mohamad, mantan anggota Konstituate dari Fraksi Proklamasi. Samsir juga pernah mendekam di Pulau Buru. Bagi Samsir, Oey adalah teman berdebat yang asik, kawan bertengkar yang menyenangkan.

“Kau kuingat selalu, Djoen,” kata Samsir menyebutnya dengan panggilan akrab.

Bilven, seorang pengelola penerbit buku Ultimus di Bandung memiliki kesan mendalam terhadap Oey saat pertama kali mengenalnya. Saat Ultimus berdiri tahun 2004, Oey Hay Djeon menelpon Bilven.

“Saya dengar dari seorang kawan di Eropa, Ultimus menjual buku-buku kiri dengan diskon besar. Ini ada buku-buku terbitan Hasta Mirta. Mau gak jual? “ ungkap Oey. Bilven mengisahkannya kembali.

Sejak saat itulah perkawanan antara mereka terjalin akrab.

“Dia orang yang sampai usia 79 tahun, masih bersemangat, gigih dan optimis akan hari depan, termasuk kepada generasi-generasi selanjutnya,” kata Bilven.

Bahkan hingga akhir hidupnya, dia masih menerjemahkan buku sekalipun produktivitasnya mulai menurun. Dari 30 lembar sehari, belakangan hanya 10 lembar saja setiap harinya.

Ultimus sudah menerbitkan 4 buku hasil terjemahannya, yaitu Hubungan Estetik Seni dengan Realitas karya Chernyshevsky, Seni dan Kehidupan Sosial karya G.V Plekhanov, Anarkisme dan Sosialisme karya G.V Plekhanov dan Tentang Kapital Marx karya Frederick Engels. Ada 4 buku lainnya yang sedang diterbitlkan.

Kontak terakhir Bilven dengan Oey Hay Djoen terjadi pada 15 Mei 2008. Ia menyampaikan soal rencananya berkunjung ke Bandung.

Ted Sprague, administrator Marxists Internet Archive seksi Bahasa Indonesia mengatakan, “Walaupun saya tidak pernah bertemu dan berbincang langsung dengan bung Oey, tetapi bung Oey telah sangat baik hati memberikan ijin kepada saya untuk memuat semua karya terjemahan dia ke Marxists Internet Archive seksi Bahasa Indonesia. Tidak peduli akan hak cipta dan kepemilikan terjemahan, tujuan bung Oey hanya satu: menyebarkan ide Marx seluas mungkin,” ujarnya dalam sebuah perbincangan melalui pesan singkat di internet.

“Sedih saya karena tidak sempat bertemu langsung dengannya dan mengucapkan terima kasih atas semua sumbangannya,” ungkapnya.

Selamat jalan om Oey.

Jumat, 13 Juni 2008

Kamis, 12 Juni 2008

IN MEMORIAM OEY HAY DJOEN


Beberapa hari yang lalu Indonesia kehilangan empat orang tokoh yakni Sophan Sophian, Oey Hay Djoen (OHD), SK Trimurti dan Ali Sadikin. Pemberitaan di media massa cetak dan elektronik sangat gencar tentang tiga orang. Namun sampai hari ini setahu saya, tidak satu pun media massa yang mengenang OHD bahkan menyebut namanya pun tidak. OHD memperoleh Gus Dur Award tahun 2007 karena berjasa antara lain menerjemahkan karya besar Karl Marx, Das Kapital ke dalam bahasa Indonesia.

Tulisan Hilmar Farid (HF) yang disiarkan melalui internet mungkin satu-satunya tulisan yang agak panjang tentang OHD. Banyak informasi yang belum saya ketahui tentang OHD yang saya peroleh dari in memoriam tersebut. Saya berterima kasih atas terbitnya tulisan HF tersebut, karena penerbitannya merupakan upaya (walau terbatas) untuk melawan diskriminasi yang dilakukan pers nasional. Kalau dikirimkan ke media massa saya yakin tulisan itu tidak akan termuat (dengan berbagai pertimbangan termasuk ketakutan redaksi).

Saya percaya bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat dalam G30S. Namun saya juga mendukung kesimpulan BK yang disampaikan dalam pidato Pelengkap Nawaksara (tentang keblingernya pimpinan PKI). Kita tentu boleh berbeda pendapat mengenai hal ini. Mengenai ungkapan "PKI, Raksasa Berkaki Lempung" yang dikemukakan oleh Jacques Leclerc dan dikutip oleh HF saya tidak memiliki ilmu dan informasi yang cukup. .
Sebab itu saya lebih senang sebetulnya membicarakan hal-hal yang kecil-kecil saja. Minggu pagi 18 mei 2008 saya ke Cibubur melayat OHD. Sebulannya sebelumnya (tanggal 12 April) saya juga datang ke rumah ini untuk acara "Makan Siang bersama Gus Dur" yang diadakan OHD sebagai ucapan terima kasih atas penghargaan "Gus Dur Award 2007".

OHD berada dalam peti mati dengan pakaian dan benda-benda kesayangannya. Ia berpakaian hitam-hitam, wajahnya tampak bersih dan teduh. Busana yang dikenakannya seperti busana mandarin China (tolong dikoreksi kalau saya keliru). Di bagian atas kepala terdapat dua buah topi cowboy. Mungkin ia ingin menghadap Thian dengan berpenampilan perpaduan Timur-Barat.

Saya pertama kali melihat OHD memakai topi cowboy ini dalam acara pernikahan Amirudin, seorang peneliti ELSAM. Setelah itu juga pernah beberapa kali. Mungkin ada yang bisa cerita tentang topi cowboy ini,sejak kapan dan kenapa OHD senang dengan ikon western ini.

Mungkin bagi mereka yang tinggal di Eropa tidak menjadi soal atau tidak pusing mengenai ini, walaupun bagi orang yang bermukim di tanah air ini bisa mencuri perhatian. Ada dua orang rekan saya (Emmanuel Subangun dan yang lebih belakangan, Muridan Widjojo) yang pulang dari Eropa ke Indonesia dengan membawa dua hal (gelar Doktor dan topi detektif yang dipakai ke mana saja). Saya sudah lama kenal Tossi wartawan radio Netherland melalui email. Ketika pertama bertemu di Jakarta dalam acara peluncuran buku Onghokham beberapa waktu yang lalu, ternyata ia juga selalu memakai topi ala detektif. Pembimbing saya di Perancis, Denys Lombard (seorang sejarawan bukan kiri) gemar sekali di musim dingin, memakai topi ala Rusia yang dibelinya di Moskow.

Mulutmu harimaumu, demikian kata pepatah lama. Ucapan dan tulisan kita menunjukkan kepribadian kita. Tetapi apakah kita mengetahui lebih dalam tentang pribadi seseorang melalui topi?