Selasa, 10 Juni 2008

Oey Hay Djoen


Saya anggota Sekretariat Pusat LEKRA, dan juga anggota pengurus pusat. Sekjennya adalah Bung Joebaar Ajoeb dan wakil sekjennya Henk Ngantung. Wakil sekjen lain adalah Sudharnoto, dan saya adalah satu dari sebelas anggota sekretariat pusat. Jadi strukturnya bukan ketua, tapi sekretariat dengan seorang sekjen dan dua wakil sekjen. Itu hal pertama yang ingin saya sampaikan. Kedua, soal kelahiran LEKRA. Teman-teman jangan menganggap bahwa LEKRA lahir dari PKI. Pada awalnya dilempar gagasan untuk melahirkan sebuah organisasi kerja kebudayaan. Idenya bukan hanya dari Njoto, Aidit dan sebagainya. ada MS Ashar dari Merdeka di sana, ada AS Dharta dan sebagainya. Tidak semuanya orang komunis. Tapi yang lebih penting, sebelum LEKRA itu berdiri sudah ada banyak organisasi kebudayaan, yaitu kelompok-kelompok yang berakar di masyarakat seperti kelompok ludruk, ketoprak, pesinden, lalu ada Pelukis Rakjat dan sebagainya. Itu semua sudah ada. Jadi bukan LEKRA yang membentuk semua itu. LEKRA justru besar karena organisasi-organisasi itu sudah ada. Seperti juga PKI dan SBKA. Sebelum PKI lahir, SBKA sudah ada lebih dulu. Jadi serikat buruhlah yang memutuskan bahwa mereka butuh partai untuk merebut kekuasaan dari tangan penjajah, dan seterusnya.
Soal ketiga, LEKRA sampai dibubarkan sudah beberapa kali mencoba meregistrasi anggotanya. Di LEKRA itu tidak ada keanggotaan, tidak ada orang yang memegang kartu anggota karena memang anggotanya itu di basis-basis kesenian tadi. Di Pelukis Rakjat itu ada rombongan pelukis, di Ludruk Marhaen begitu juga. Mereka bangga menyebut diri anggota LEKRA, padahal tidak ada itu keanggotaan. Mereka tidak pegang kartu. Nah, kita coba melakukan registrasi tapi tidak pernah berhasil. Di LEKRA juga orang tidak bayar iuran, jadi ikatan organisasi apa yang ada? Benar seperti dikatakan Steph, sebetulnya LEKRA itu lebih banyak mengkoordinasi, memberi dan menawarkan hal-hal baru kepada organisasi-organisasi yang sudah ada itu, dan menghubungkannya satu sama lain. LEKRA itu lebih banyak seperti jaringan jadinya. Maka itu tidak kami namakan sebagai organisasi. Kami adalah gerakan kebudayaan. LEKRA itu gerakan kebudayaan.
Keempat, tadi ada teman mengatakan LEKRA itu besar karena PKI. Kemudian Steph salah lidah mengatakan PKI itu onderbouw-nya LEKRA [tertawa]. Jangan diketawain ini, sebab PKI ketika pemilihan umum 1955 mendadak sontak menjadi urutan keempat. Habis organisasi dan partai lain yang mengatakan dirinya intelektual dan sebagainya, seperti PSI. Waktu itu disikat bersih dalam pemilihan umum. PKI menang, dan tahu anda apa sebabnya? Kalau anda ingat, ada orang-orang tua yang tahu persis kalau kampanye pemilihan umum tidak ada satu partai pun yang mengadakan kesenian di atas panggung untuk memberi warna kultural. Nah, setiap kali PKI mengadakan kampanye mereka bekerja menghias dan menjadikan kampanye itu sebagai pesta rakyat. Seperti yang misalnya dicoba oleh Golkar sekarang, merekrut seniman Jakarta, ada tari, dangdut dan segala macam. Nah, yang bergerak di sana waktu itu adalah seniman-seniman yang di bawah itu. Ya ada ketoprak, ludruk, Pelukis Rakjat dan sebagainya. Mereka membuat kampanye itu menjadi pesta rakyat. Mereka datang dengan reog dan dengan pisang dan sebagainya. Panggungnya dibikin oleh teman-teman pelukis. Orang Manikebu sudah mulai sadar waktu pemilu, "kok dengan kebudayaan bisa meraih simpati rakyat begitu banyak?" Maka jangan heran kalau sasaran pertamanya mengatakan bahwa kegiatan itu bukan kebudayaan, tapi gerakan politik untuk agitasi. Mereka bilang LEKRA itu vulgar, propaganda. Manikebu dimulai dari sana, dan memang ada perebutan medan dalam lapangan kebudayaan. Memang LEKRA yang pertama melaksanakan penyatuan politik dan kebudayaan. Bahwa dengan kebudayaan bisa merebut kekuasaan karena kerjanya merombak pikiran orang, mencapai pemihakan orang dan sebagainya.
Mengenai hubungan PKI dan LEKRA. Saya ini anggota PKI. Di ludruk misalnya kita punya anaknya Durasim. Siapa Durasim itu? Teman-teman kan tahu, itu datuknya ludruk yang dibunuh Jepang. Dia memang orang kiri. Anaknya bernama Bowo dan ada lagi beberapa orang yang habitatnya memang di ludruk. Jadi tidak ada itu Njoto misalnya datang ke kelompok ludruk lantas bilang pemain ludruk harus masuk LEKRA, masuk PKI. Tidak ada, dan tidak akan jalan itu. Yang terjadi, memang ada kader-kader yang berdekatan dengan kami itu digarap, sehingga mereka bisa meneruskan pesan-pesan ke dalam gerakan ludruk itu. Jadi menyebarluas karena memang itu habitat mereka. Dengan begitu perkembangan bisa organik, bukan anorganik. Hal sama berlaku di bidang-bidang lain.
Begitulah… nah, apakah anda mau mengatakan bahwa LEKRA yang membesarkan Rivai Apin, Pramoedya, membesarkan tokoh-tokoh seperti Affandi, Soedjojono dan sebagainya? Ya, nggak bisa! Nggak ada ceritanya. Mereka sudah harimau ketika LEKRA baru dibentuk dan menonjol sendiri-sendiri. Maka itu LEKRA tidak pernah berani bilang kepada Pram harus begini-begitu, kamu harus menulis seperti ini… nggak pernah! Kita bisa dibuang oleh dia. Jadi kami besar karena orang seperti Pram ternyata bergabung ke LEKRA, karena orang seperti Rivai bergabung ke LEKRA. Soedjojono misalnya tahun 1945 sudah komunis, tapi akhirnya dipecat dari LEKRA. Jadi tidak ada problem, karena kitamemang mengembangkan apa yang hidup di kalangan seniman, bukan kita yang mendikte begini-begitu. Memang karya yang abstrak dikritik… tapi hidupnya memang dari mereka sendiri. LEKRA ini tugasnya menyimpulkan dan menawarkan kembali kepada mereka. Apakah ini yang kalian inginkan? Apakah ini yang kalian perlukan? Seperti Pramoedya dan sebagainya hanya begitu saja. Utuy juga menemukan sesuatu karena bergaul dengan orang-orang LEKRA.
Kembali soal hubungan PKI dan LEKRA. Memang betul, kalau mau dilihat konkret, omong kosong segala AD/ART itu. Itu kan bisa dibikin saja, seperti… ya, segala macamlah. Tapi memang dalam kenyataan tidak ada hubungan organisatoris antara PKI dan LEKRA. Bahwa ada orang-orang komunis di dalam LEKRA itu benar, seperti saya ini. Tapi jangan kira apa yang dikatakan PKI itu sepenuhnya diterima. Tidak! Buktinya sejak tahun 1964 saya dipanggil berkali-kali dengan beberapa teman lainnya. Kami dipanggil untuk mendengar apa maunya PKI. Pada waktu itu garisnya memerahkan semua barisan. Di wanita ada, pemuda, pelajar, pokoknya semua dimerahkan begitulah. Himpunan Sarjana Indonesia (HIS) juga minta dimerahkan, kami semua juga disuruh jadi merah. Kalau saya diminta begitu, ya logis saja. Tapi yang lain? Nah, pemerahan ini dilakukan lewat kongres-kongres. Lewat kongres keputusan diubah sesuai mereka yang memproyeksikan. Kami di LEKRA menolak. Saya juga menolak, karena tidak bisa misalnya seorang Pram diperintah menjadi merah. Begitu juga yang lain, nggak bisa. Lalu apa yang dilakukan? Nah, inilah cara PKI. Misalnya Gerwani disuruh jadi merah, tapi juga tidak berhasil. Akhirnya dibentuk organisasi lain, Wanita Komunis.
LEKRA nggak mau nurut. Menurut pandangan kami tidak bisa diperbudak dengan cara seperti itu. Di kebudayaan tidak akan bisa dengan cara seperti itu. Mau pakai instruksi segala, nggak bisa. Jadi mereka bikin sendiri. Saya juga hadir dalam KSSR dan akhirnya itu menjadi organisasi sendiri. Tadi Fay mengatakan supaya saya menggambarkan soal ketegangan dalam hubungan itu. Maksudnya mungkin apakah ada perbedaan atau tidak di antara dua organisasi. Itu ada, dan kalau nggak berhasil mereka akan bisa sendiri organisasinya, dan hasilnya sudah bisa kita bayangkan. Masa seniman itu disuruh apel kebudayaan. Begitu dicanangkan, banyak seniman yang tidak mau datang. Itu terjadi.
Memang yang menjadi motivasi atau penggeraknya sama, anti-imperialisme dan sebagainya. Gerakan pertama LEKRA itu sebetulnya perdamaian dunia dengan simbol burung merpati yang dibuat Picasso itu. Itu sebetulnya dimulai tahun 1950-an. Kesamaan PKI dan LEKRA, kami menyatakan bahwa Revolusi Agustus itu gagal. Itu sama, karena orientasi kami revolusi itu untuk rakyat. Nah, kalau dibilang politik sebagai panglima, maksudnya bukan politik seperti yang dimengerti sekarang. Politik bagi kami adalah usaha yang berpihak pada rakyat, memenangkan rakyat, mengabdi pada rakyat. Apakah itu terlaksana atau tidak, masalah belakangan. Tentang realisme sosialis, itu yang menonjolkan adalah Pram. Tapi Pram tidak menentukan apa realisme sosialis itu sebenarnya. Meniru Maxim Gorki itu teori realisme sosialis. Teman-teman mesti membayangkan ya, realisme sosialis itu mungkin di bidang sastra, mungkin juga di bidang seni rupa. Tapi bagaimana kita mesti menangkap realisme sosialis di bidang musik. Bisa dibayangkan tidak? Kalau berlaku universal artinya bisa diuji dari segala macam sudut.

Turba itu sebenarnya menjadi salah satu metode LEKRA. Kita dulu punya lima kombinasi dan satu metode. Metode itu ada gerakan ke bawah. Sebenarnya ini dalam rangka mewujudkan apa yang disebut garis massa, yaitu belajar mendengar dan menimba dari kehidupan rakyat. Gerakan ke bawah itu dalam prakteknya berarti sejumlah seniman, pelukis dan sebagainya turun ke basis masyarakat. Misalnya teman-teman Pelukis Rakjat seperti Amrus Natalsja, pergi ke kampung nelayan atau ke perkampungan buruh pelabuhan, hidup dan tinggal bersama. Di samping waktu senggang mereka bekerja sama. Jadi turun ke bawah itu menimba pengalaman konkret yang ada di bawah. Apa saja yang disuarakan di bawah ini ditarik ke atas, dan mereka wujudkan dalam pesan, dalam sajak, cerpen dan sebagainya. Misalnya sajak Agam yang dahsyat [Matinya Seorang Petani]. Dia memang di sana, hidup dan tinggal di sana waktu itu. Ketika dia mengatakan petani tergelepar, memang dia lihat dan menyaksikannya.
Tapi masalah turun ke bawah itu kadang juga diromantisir. Misalnya gerakan 1001. Itu apa? Pokoknya kalau kita mengalami kesulitan ekonomi, kita bisa ambil apa saja lalu mengisinya dalam tanah. Tumbuh sayuran dan segala macam. Memang ada yang berbuah dan semua melakukan itu. Tapi menjawab persoalan zaman kan nggak cukup begitu saja. Tapi di sisi lain ada cerita seperti ini. Di Jawa Timur ada seorang pengarang, Hadi namanya. Dia memimpin LEKRA di Jawa Timur, dan yang namanya partai mencoba mendikte dia. Kamu harus ini, harus itu dan dia langsung bereaksi. Dalam peristiwa 1965 dia digorok bersama istrinya. Orangnya memang pemberani. Dia berani mengkritik CC-PKI dengan tertulis. Nah di Jawa Timur diperlakukan seperti itu. Setelah berperang dia teriak ke komite partai tingkat propinsi, "kalian kerbau-kerbau semuanya!" Karena mereka mau memberi instruksi pada Hadi ini. Hal-hal seperti ini tidak jarang terjadi. Saya misalnya pernah menerima sajak-sajak dari para penggede, pimpinan partai. Pernah saya terima sajak dari Sudisman, dikirimkan pada saya dengan pesan sederhana, "tolong dikritik". Kita ngerti apa maksudnya, ini lewat Sudisman. Artinya orang mengirim sajak ke komisaris partai lantas yang bersangkutan kasih cap, lalu dikirim ke Harian Rakyat diterima oleh orang seperti Amarzan yang pegang ruang kebudayaan. Hal-hal ini terjadi.
Jadi sebenarnya turba itu hanya untuk melaksanakan garis massa. Yang dicari justru denyut jantungnya rakyat di bawah, ya buruh, petani dan nelayan. Mereka mencoba menangkap. Tapi bagaimanapun, ini tetap terbatas. Mereka paling lama 2-3 bulan di sana. Bagaimana bisa menangkap seluruh kehidupan rakyat itu? Itu mustahil terjadi, tapi paling tidak membantu mendorong makin tajamnya pemihakan mereka kepada rakyat. Itu saja agar mereka menjalankan garis massa. Ada juga cerita-cerita menarik. Misalnya ada seorang teman yang kerja di bidang film. Dia asyik sekali bergerombol dengan yang lain. Lalu kita mulai bertanya-tanya. Akhirnya ketahuan bahwa dia seringkali main judi dengan artis-artis. Lalu kita tanya, kok begini jadinya. Dia bilang, saya ini menjalankan garis massa [tertawa]. Dia bilang, artis-artis itu senangnya main judi sambil kumpul dan ngobrol ngalor-ngidul. Dia sendiri juga suka main judi. Jadi itu pun dipakai. Apa yang bisa kita laksanakan, ya kita laksanakan. Hasilnya bisa konkret seperti dilakukan pelukis Tarmizi yang bisu-tuli itu. Kalau dia turun ke bawah itu memang intens, sehingga lukisannya terutama tentang nelayan itu luar biasa.
Saya kira itu cukup jelas. Turba untuk menangkap denyut jantung rakyat di masing-masing sektor. Kita sekarang ini sudah terlalu jauh dari rakyat, terlalu sering ribut di elite. Itu yang kita pikirkan, tapi tidak pernah kita pikirkan bahwa kaum tani sudah berani merebut tanah yang tadinya dirampas oleh Orde Baru. Bahwa kaum buruh sudah berani aksi masa soal UU Tenaga Kerja. Lha, di mana JAKER? Anda ingat ketika JAKER mengadakan kongres kebudayaan? Satu hari berdiskusi, satu hari berdangdut-ria. JAKER lalu tanya ke Bung Pram, "kebudayaan nasional itu mestinya bagaimana? Apakah puncak-puncak kebudayaan daerah atau bagaimana?" Jawaban Bung Pram sederhana, "Lho, saudara kok menanyakan pada saya? Ya saudara cari sendiri." Kalau kita tanya kebudayaan nasional itu apa, maka maksudnya kebudayaan yang bisa mengerahkan sebanyak mungkin rakyat Indonesia. Nah, akhirnya konperensi kebudayaan itu gagal. Masa masalah kebudayaan mau dibicarakan dalam dua hari. Itu tidak realistis. Itu saja saya kira.


Diskusibulanpurnama.

Tidak ada komentar: